Lingkungan

Catat! Sawit Bukan Tanaman Hutan

JAKARTA --Kelapa sawit diusulkan untuk masuk dalam kategori tanaman hutan. Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, menilai kepala sawit bisa dianggap sebagai tanaman hutan kritis atau terlantar. Tujuannya diklaim bisa menyelesaikan polemik tumpang tindih sait rakyat di kawasan hutan.

Ide ini tentu sangat berbahaya bagi keberlangsungan hutan di Indonesia. Karena pembukaan lahan hutan untuk tanaman sawit dianggap bukan deforestasi. Di sisi lain, Gulat mengklaim kalau kawasan hutan yang dikerjakan oleh pemerintah tidak efektif menyelesaikan masalah klaim sawit milik rakyat di kawasan hutan. Klaim Gulat yang menganggap sawit memiliki sifat yang serupa dengan tanaman hutan pada umumnya tentu pemikiran yang sesat.

Menanam sawit di kawasan hutan yang rusak atau terlantar bukan solusi untuk memperbaikinya. Bisa dibayangkan kerusakan ekosistem dan ekologi yang disebabkan oleh sawit. Keanekaragaman hayati hilang, satwa liar kesulitan mencari makan, serta tanah yang rusak akibat tanaman sawit. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat luas tutupa sawit yang berada di kawasan hutan mencapai 3,4 juta hektar hingga akhir 2021.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan sawit bukan tanaman hutan. Hal ini berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis. ''Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto, dalam siaran pers KLHK, Selasa (8/2)

Dalam Permen LHK P.23/2021 Sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Pemerintah, kata dia, saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, yaitu masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.

''Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,'' ungkap Agus.

Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan, Agus meminta penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri. Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.

Kebijakan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.

Dalam peraturan ini diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Pendaki dan jurnalis