Pembangunan Jalan Ancam Kelestarian Hutan dan Satwa Liar
JAKARTA --Seberapa besar proyek pembangunan jalan mengancam keutuhan hutan di Asia Tenggara? Jawabannya cukup besar. Ilmuwan Chinese Academy of Science mengklaim prediksi kerusakan hutan yang ada saat ini cendrung mengabaikan pembangunan jalan baru yang bisa berujung pada pembukaan lahan dan tumbuhnya pemukiman.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, Biological Conservation, menunjukkan rata-rata 75 persen jalan di lima negara Asia Tenggara tidak tercantum dalam peta online OpenStreetMap (OSM) yang kerap digunakan ilmuwan dan peneliti.
''Pertumbuhan ruas jalan diikuti oleh pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang menjadi peringatan besar bagi masa depan kawasan hutan,'' tulis ilmuwan dalam studi tersebut, dikutip dari Deutsche Welle (DW), Rabu (9/2).
Salah satu peneliti yang terlibat, Alice Hughes, mengatakan timnya mempelajari citra satelit dan peta di kawasan hutan seluas 277,281 kilometer persegi. Ia menemukan ruas jalan baru membuka akses publik terhadap area yang selama ini tidak tersentuh. Alice bahkan menyebut negara dan masyarakat menipu diri dan menganggap masih ada hutan alami yang luas dan tidak bisa diakses.
''Padahal realitanya yang kita miliki adalah hutan yang sudah terkotak-kotak dan mudah diakses. Di beberapa tempat, hampir 99 persen ruas jalan tidak masuk dalam peta global yang digunakan untuk penelitian,'' kata Alice, yang menganalisa jaringan jalan raya di Indonesia, Malaysia, Brunei, Papua Nugini dan Kepulauan Salomon.
Menurutnya deforestasi dan alih fungsi hutan di Asia Tenggara telah muncul sejak tahun 2000-an. Sementara peta yang ada tidak diaktualisasi secara berkala. Seringnya jalan-jalan ini digunakan buat mengakses hutan dan 99 persen lahan deforestasi terletak dalam radius 2.5 kilometer dari jalan. Ia menambahkan, kawasan hutan yang dilintasi jalan membutuhkan perlindungan dan penegakan hukum yang lebih baik.
Salah satu contohnya adalah Indonesia yang telah memberlakukan moratorium hutan sejak 2011. Namun, lanjut Alice, larangan pembukaan lahan hutan seharusnya diperluas tidak hanya mencakup hutan alami, tetapi juga semua jenis hutan dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi. Saat ini pemerintah tidak melindungi hutan sekunder atau hutan alami yang telah ditebangi.
Organisasi lingkungan Greenpeace mengeluhkan, pelaku usaha berulang kali merusak hutan primer agar dikeluarkan dari moratorium sehingga bisa dibuat perkebunan. Walhi juga mencatat banyak izin perkebunan di Papua yang digunakan hanya buat membabat hutan dan menjual hasil kayunya. Akibatnya, di beberapa tempat, hampir 99 persen ruas jalan tidak masuk dalam peta global yang digunakan untuk penelitian.
Proyek tol trans Sumatera ganggu habibat gajah
Salah satu contoh proyek tol yang membabat hutan bahkan kawasan konservasi adalah tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131,48 kilometer. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebenarnya sudah mendesain agar jalan tol dibangun tak menerobos kawasan konservasi. namun ternyata mau tak mau jalan tol tetap melewati daerah jelajah (home range) gajah, sehingga jalur perlintasan khusus gajah diperlukan.
Selama proses pembangunan, pekerja di lapangan beberapa kali melihat gajah sumatra liar secara langsung. Jejak-jejaknya juga tampak di lokasi pembangunan perlintasan gajah. Alih-alih melindungi Kawasan Konservasi dan Suaka Margasatwa, BKSDA Riau dan PT Hutama Karya malah membangun terowongan untuk penyebrangan gajah.
Terdapat enam ekor gajah yang menetap di sana dan sedikitnya 42 ekor gajah yang bergerak secara rutin dari kantor SM Balai Raja ke kantong SM Giam Siak Kecil. Bukan hanya ruas tol Pekanbaru-Dumai, to Sigli-Banda Aceh sepanjang 74 kilometer juga mengganggu perlintasan gajah.