Temuan Prasasti Terbaru dan Kutukan di dalamnya

Sejarah  
Prasasti di Gemekan (Foto: Zainollah Ahmad)
Prasasti di Gemekan (Foto: Zainollah Ahmad)

Belum lama ini ramai diberitakan penemuan sebuah prasasti oleh tim ekskavasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur di Situs Gemekan, Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Sooko, Mojokerto, Jawa Timur. Sebagian isinya yang sudah bisa dibaca rupanya menyebutkan serangkaian kutukan menyeramkan.

Soal kutukan di dalam prasasti yang baru ditemukan itu saya dapatkan infonya dari sejarawan Jember, Zainollah Ahmad. Penulis buku Tahta di Timur Jawa: Catatan Konflik dan Pergolakan pada Abad ke-13 sampai ke-16 itu adalah salah satu sejarawan yang mengikuti berita penemuan prasasti di Gamekan.

Kepada saya dia bilang kalau penerjemahan prasasti ini belumlah tuntas. Itu setidaknya pada dua hari lalu ketika saya berbincang dengannya lewat WA.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kendati begitu kata dia, dari pembacaan salah satu sisi prasasti oleh Ageng Gumelar Wicaksono, seorang pemerhati Cagar Budaya, terungkap bahwa nama Pu Sindok lengkap dengan gelarnya tertera di dalam prasasti di Gemekan.

Sebagai gambaran, Pu Sindok merupakan penguasa Mataram di Jawa Timur. Ia yang punya andil memindahkan ibukota kerajaan itu pada 929 M dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur sekarang.

Yang mungkin banyak disoroti orang, di dalam prasasti itu, dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno, terbaca ancaman dengan kutukan yang menyeramkan. Setelah diartikan oleh Ageng Gumelar bunyinya: “Potong muncungnya, belah ke[palanya], robek perutnya sisakan jeroannya... makan dagingnya minum (darahnya), lalu lengkapi dengan sisakan... jika menuju hutan dimakan macan dipatuk ular pūla.... oleh dewamanyuh jika pergi ke tegal (lapangan terbuka) disambar petir dirobèk-robèk olèh raksasa dimakan olèh wuil si pramunguan, ”.

Namun sebenarnya kutukan semacam itu bukanlah hal yang baru di temukan di dalam sebuah prasasti. Kata Zainollah, kutukan, persumpahan, atau sapatha lazim ditemukan di banyak prasasti Jawa Kuno.

Kalimat berisi kutukan biasanya ditemukan di dalam prasasti-prasasti yang pembahasan utamanya tentang penetapan sima. Sima adalah perdikan atau daerah yang ditetapkan bebas dari pajak, karena raja atau penguasa punya kepentingan atas tanah itu. Misalnya pendirian bangunan suci.

“Biasanya ada sapatha-nya. Persumpahan dilakukan oleh makudur, disaksikan raja, wipra, rsi, citralekha, dan lain-lain. Mungkin semacam warning, agar tak ada yang main-main dengan tanah sima itu,” jelasnya.

Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono pernah juga menulis dalam makalahnya “Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna”, bahwa kalimat kutukan diucapkan saat upacara pengesahan status tanah bebas pajak yang sakral.

Sebelumnya Sang Makudur, mungkin bisa dibayangkan yang memimpin upacara, akan membaca mantra sebelum melepaskan kalimat kutukan. Ia lalu menaburkan abu, menyembelih ayam, dan terakhir membanting telur ayam pada batu ritual.

Kutukan yang dilontarkannya dikirim ke mereka yang nekat menggoyang keberadaan tanah sima. Dengan ia menabur abu, memotong ayam, dan memecah telur diharapkan bakal tercipta hubungan magis.

Biasanya yang tertulis di dalam prasasti urutannya akan diawali dengan deskripsi persiapan upacara pengucapan kutukan. Setelah itu dilanjutkan doa kepada dewa tertentu dan makhluk gaib lainnya. Mereka ini yang diyakini berada di manapun dan menjadi saksi setiap pelanggaran atas ketentuan prasasti. Baru kemudian tertera peringatan dan permohonan atas hukuman mengerikan bagi para pelanggar.

Bukti kalau ini bukan satu-satunya prasasti berisi kutukan bisa dijumpai dengan membaca isi prasasti lainnya. Misalnya yang dari masa lebih muda, seperti Prasasti Taji (901 M), Panggumulan A (902 M), Kubu-Kubu (905 M), Mantyasih (907 M), Rukam (907 M), dan Kaladi (909 M).

Pu Sindok pun sebagai tokoh yang menerbitkan prasasti di Gamekan itu bukan sekali ini menerbitkan prasasti penetapan sima dengan sumpah-kutuk super seram di dalamnya. Lainnya misalnya Prasasti Waharu IV (931 M), Gulung-Gulung (929 M), dan Turyyan (929 M).

Metode “ancaman” semacam ini bahkan masih berlanjut pada era Majapahit. Misalnya Prasasti Kudadu (1294 M), Prasati Tuhannaru (1323 M), Prasasti Cangu (1358 M), dan Prasasti Waringin Pitu (1369 M).

Padahal ketika itu Majapahit sudah memiliki kitab perundang-undangan sendiri. Majapahit memiliki Kitab Agama di mana mereka mengatur tindak pidana, yang dikenakan denda atau hukuman mati. Ada juga undang-undang hukum perdata dengan bab jual beli, pembagian warisan, perkawinan, dan perceraian.

Kalau mengutip pendapat arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, kutukan dalam prasasti merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini memang lebih bersifat sakral kedewaan, bukan sanksi atau denda sebagaimana pada masa sekarang.

"Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan "kutukan", itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam," paparnya.

Kutukan ini juga bisa ditafsirkan kalau penguasa yang mengeluarkan keputusan itu memanfaatkan kekuatan atas ‘takut terhadap kutukan’ sebagai alat untuk mengamankan prasasti dan isinya.

Sebetulnya cara ini tak cuma ditemui di dunia Jawa Kuno. Penguasa Sriwijaya pun diketahui menggunakan cara yang sama. Sebagian prasasti masa itu diketahui berisi kutukan, seperti Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu dari abad ke-7 M.

Bedanya, kalau di dalam prasasti Jawa Kuno kutukan ditujukan agar semua orang manut keputusan yang telah dibuat oleh penguasa. Sementara kutukan dalam prasasti Sriwijaya ditujukan sebagai ancaman bagi pejabat kerjaaan agar patuh kepada raja.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Jurnalis yang suka sejarah dan arkeologi

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image