Jokowi Bilang Ingin Perluas Kawasan Konservasi Laut, Faktanya Bertolak Belakang
JAKARTA --Di dalam forum One Ocean Summit 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa laut yang sehat merupakan kunci keberlanjutan pembangunan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Jokowi menyebut pemerintah Indonesia sedang bekerja mewujudkan laut yang bersih dan sehat dengan menempuh sejumlah strategi, di antaranya dengan cara memperluas kawasan konservasi laut (marine protected area) dengan target seluas 32,5 juta hektar pada 2030.
Namun, benarkah Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sedang bekerja untuk mewujudkan laut yang bersih dan sehat?
Di dalam pidatonya, Jokowi mengklaim proyek konservasi laut telah mencapai luasan 28,1 juta hektar pada tahun 2021. Artinya, ada 1,9 juta hektar lagi kawasan konservasi laut yang menjadi target pemerintah. Apakah proyek ini benar-benar berjalan di lapangan?
Berdasarkan catatan Walhi, proyek konservasi laut di Indonesia memiliki sejumlah persoalan serius. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menyebutkan, pertama, proyek ini ditetapkan oleh pemerintah dengan mekanisme top-down. Masyarakat pesisir yang berada di akar rumput hanya diberikan pilihan untuk menerima proyek ini. ''Atas nama keberlanjutan, kawasan tangkap nelayan ditetapkan sebagai kawasan inti konservasi. Inilah yang disebut sebagai konservasi ekofasis,'' kata Parid.
Kedua, lanjut dia, kawasan proyek konservasi perairan yang disebut oleh Jokowi itu tumpang tindih dengan proyek ekstraktif lainnya. Di antara kawasan konservasi perairan yaitu kawasan perairan Halmahera Tengah, di Maluku Utara. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, kawasan perairan Halmahera Tengah masuk ke dalam Kawasan Industri Weda Bay untuk proyek pertambangan nikel.
Lalu ketiga, pemerintah telah menerbitkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu. Pasal 51 UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional. Selain itu, Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan kawasan konservasi laut di Indonesia.
Selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7, PP 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. ''Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa kawasan konservasi laut yang disebutkan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,'' jelas Parid.
Keempat, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), secara resmi telah menetapkan arah pembangunan kelautan dan perikanan untuk menaikkan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap perizinan berusaha pemanfaatan pasir laut. Penetapan Tarif PNBP Pasir Laut untuk kepentingan bisnis pasir laut adalah bentuk eksploitasi sumber daya kelautan secara terang-terangan dan dalam jangka panjang akan berdampak buruk bagi kelestarian laut.
Di dalam dokumen resmi KKP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut pada Bulan Mei 2021, disebutkan bahwa saat ini dibutuhkan sekitar 1.870.831.201 M3 untuk memenuhi sejumlah proyek reklamasi. Data kebutuhan material pasir yang disusun oleh KKP menunjukkan bahwa tambang pasir yang akan ditetapkan tarif PNBPnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan proyek reklamasi di Indonesia.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, Walhi menilai pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi, tidak bekerja untuk mewujudkan laut yang sehat pada yang akan datang. Sebaliknya, dengan berbagai peraturan perundangan yang telah dikeluarkan, pemerintah malah bekerja untuk mempercepat dan melanggengkan krisis.
''Jika pemerintah ingin mewujudkan laut yang sehat dan meninggalkan warisan yang baik untuk generasi yang akan datang, Walhi mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut berbagai peraturan perundangan serta kebijakan yang mempercepat dan melanggengkan kerusakan laut Indonesia,'' ujar dia.
Keseriusan Pemerintah dalam pengaturan ruang laut Indonesia harus ditantang dengan pencabutan UU Cipta Kerja yang memberikan keleluasaan penghancuran wilayah laut. Peraturan yang bertentangan dengan mandat rakyat dalam konstitusi harus segera dievaluasi. Sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 yang lebih mengutamakan prinsip kekeluargaan dalam pengaturan tata kelola sumber-sumber penghidupan yang termasuk sumber daya alam di dalamnya.
Dalam proyek konservasi yang telah ada, pemerintah justru menjauhkan masyarakat sebagai subyek utama dari pengaturan tata kelola ruang hidupnya. Untuk itu, pemerintah seharusnya menempatkan masyarakat sebagai pilar utama. Dengan kata lain, praktik konservasi laut harus dilakukan secara bottom-up bukan top-down. Di banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, masyarakat memiliki tata cara konservasi laut yang berbasis pada adat istiadat atau kearifan tradisional. Pada masa yang akan datang, merekalah yang harus menjadi pemain penting dalam konservasi laut di Indonesia.
SUMBER : Walhi