Salah Kaprah Penanganan Sampah DKI dan Bantargebang yang Hampir Kolaps

Lingkungan  

JAKARTA --Seperti menggantang asap, mengukir langit, begitu kira-kira upaya pengelolaan sampah DKI Jakarta. Sampai saat ini, bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional 2022, bukannya membaik, Jakarta justru menuju kondisi darurat sampah. Kegagalan pengelolaan sampah sehingga mengakibatkan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang penuh menjadi fakta buruknya tata kelola sampah Jakarta.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun WALHI Jakarta, timbulan sampah harian Jakarta dari tahun 2015 sampai tahun 2020 cenderung mengalami peningkatan. Dari tahun 2015 yang hanya sekitar 7.000 ton menjadi 8.300 ton pada tahun 2020. Peningkatan tersebut diperparah dengan rendahnya jumlah sampah yang berhasil dikurangi sebelum masuk Bantargebang. Seperti yang terjadi pada tahun 2020 misalnya, dari 8.369 ton timbulan sampah yang dihasilkan, hanya 945 ton sampah yang berhasil dikurangi. Sementara 7.424 ton sisanya di buang ke Bantargebang.

''Kondisi tersebut tak pelak memunculkan masalah di hilir, Bantargebang sebagai tempat pengolahan akhir sampah Jakarta harusnya hanya menerima sampah residu. Sebab buruknya sistem pengolahan sampah Jakarta, Bantargebang harus menampung berbagai jenis sampah,'' kata aktivis Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, dalam keterangn persnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Akibatnya, per tahun 2020, TPST Bantargebang benar-benar lumpuh. Volume eksisting TPST Bantargebang sudah mencapai 22.387.370 m3, melebihi kapasitas penampungan yang hanya 21.879.000 m3. Meskipun Pemprov DKI telah menambah luas TPST Bantargebang pada 2021, bukan berarti masalah sampah Jakarta sudah selesai. Tanpa pengelolaan sampah berbasis penguatan masyarakat, cerita lama soal penuhnya kapasitas Bantargebang akan terus menghantui Jakarta.

Proyek Bakar-Bakaran Sampah, Salah Arah Penanganan Sampah

Menghadapi kolapsnya Bantargebang, berbagai solusi kemudian muncul sebagai tawaran pengelolaan sampah berkelanjutan. Salah satunya, insinerator yang diklaim sebagai teknologi berbasis termal ramah lingkungan. Setidaknya, sampai saat ini, ada satu fasilitas pengolahan sampah dengan mesin incinerator yang sudah berjalan, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.

Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan beberapa fasilitas pengolahan sampah serupa PLTSa di Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) dalam kota. Fasilitas tersebut rencananya akan dibagi dalam empat wilayah layanan yang meliputi wilayah layanan barat, wilayah layanan timur, wilayah layanan selatan, dan Sunter sebagai pusat ITF dengan kapasitas pengolahan sampah masing-masing berkisar 2.000-2.200 ton per hari atau 8.000-8.400 per hari jika semua dijumlahkan.

Dengan kata lain, hampir seluruh timbulan sampah harian DKI Jakarta bisa direduksi melalui teknologi ini. Meskipun demikian, Aminullah menilai penggunaan teknologi incinerator dalam pengelolaan sampah bukanlah solusi yang tepat. Sebab teknologi ini kian menjauhkan semangat penyelesaian persoalan sampah dari sumber. ''Alih-alih membangun kesadaran masyarakat dalam pengurangan produksi sampah, adanya incinerator justru akan menimbulkan persepsi 'berapapun banyak sampah akan musnah','' ucap dia.

Selain itu, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sekitar 53 persen sampah Jakarta adalah sisa makanan yang tergolong organik dan tujuh persen sampah adalah kertas yang juga bisa didaur ulang. Dengan demikian, lebih dari separuh sampah Jakarta merupakan sampah yang bisa diolah oleh masyarakat tanpa harus dibakar mesin incinerator.

Minimnya kesadaran, edukasi, dan sarana pemilahan sampah menjadi hambatan utama dalam tata kelola sampah Jakarta. Terlebih, sampai saat ini, Pemprov DKI masih setia dengan skema usang bernama kumpul-angkut-buang. Skema ini sendiri telah mengakibatkan hampir seluruh sampah warga Jakarta terbuang ke Bantargebang. Pada tahun 2020 saja, dari 8.369 ton timbulan sampah Jakarta, hanya 945 ton yang berhasil dikurangi, sementara 7.424 ton sisanya masuk ke Bantargebang.

Kebijakan Memadai, Implementasi Lemah!

Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah memiliki skema pengelolaan sampah yang berbasis pada penguatan masyarakat. Skema tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga. Dalam Pergub tersebut, setiap rumah tangga wajib melakukan pemilahan sampah dan menyetor sampah sesuai jadwal yang telah ditentukan. Jadwal pemungutan sampahnya sendiri diatur berdasarkan jenis sampah. Dengan demikian, jenis sampah yang tidak sesuai jadwal pengangkutan akan ditolak.

Dengan sistem pemilahan yang baik, lebih dari separuh komposisi sampah Jakarta yang merupakan sampah bisa didaur ulang dapat dimanfaatkan dengan lebih efektif. Bank sampah misalnya, pelaku bisnis daur ulang sampah ini akan lebih mudah memanfaatkan sampah yang sudah terpilah sejak awal.

Selain itu, pergub tersebut juga mengatur pengelolaan sampah tingkat rukun warga (RW) berbasis 3R (Reuse, Reduce, Recycle). Dengan skema tersebut, sampah-sampah yang bisa di daur ulang akan dikelola dan tidak terbawa ke Bantargebang. Beberapa contoh pengelolaan yang diterapkan meliputi budidaya maggot dan pembuatan kompos untuk sampah organik.

Poin penting dalam pergub di atas adalah upaya penyadartahuan masyarakat terkait persoalan sampah. Kebiasaan dan perubahan perilaku masyarakat dibangun melalui regulasi yang mewajibkan pemilahan dan pengolahan sampah. Berbeda dengan pendekatan infrastruktur melalui pembangunan incinerator, Pergub DKI No. 77 tahun 2020 memiliki semangat pembangunan masyarakat ketimbang sekedar pemusnahan sampah belaka.

Pergub ini memang berpotensi mengurangi jumlah sampah yang masuk ke Bantargebang sebanyak 74 persen. Adapun sampah-sampah yang bisa dikelola meliputi sisa makanan, ranting kayu, kertas, pet, dan logam. Dengan jumlah timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2020 yang mencapai 8.369 ton, itu artinya, Bantargebang hanya akan menerima sampah sebanyak 2.176 ton saja tiap harinya.

''Satu tahun berjalan Pergub 77/2020 ini belum juga menunjukan kemajuan, bahkan banyak masyarakat di tingkat Rukun Warga belum mendapat sosialisasi dan informasi dari tingkat kelurahan dan suku dinas lingkungan hidup. Padahal keduanya memiliki peran penting dalam implementasi di tingkat masyarakat,'' ungkap Aminullah.

Di tahun 2021 lalu Gubernur DKI Jakarta juga telah mengeluarkan Pergub nomor 102 tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah di Kawasan dan Perusahaan. Peraturan ini menyusul pergub 77 dengan harapan sampah dapat ditekan dengan dikelola berdasarkan sumber berdasarkan klasifikasi sumber sampah. Dimana pada tahun 2020 rumah tangga berkontribusi pada timbulan sampah sebesar 37,33 persen, perkantoran, 3,33 persen, perniagaan 7,29 persen, kawasan 16 persen, dan fasilitas publik sebesar 5,25 persen.

SUMBER : Walhi Jakarta

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Pendaki dan jurnalis

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image