Miris! Seekor Orang Utan Terkena Jerat Hingga Luka Parah
PONTIANAK -- Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat (BKSDA Kalbar), melakukan penyelamatan satu individu orangutan yang terluka di Dusun Pebahan Raya, Desa Pulau Kumbang, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. BKSDA Kalbar dibantu oleh seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang, Resort Sukadana bersama Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI/IAR Indonesia), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayong Utara serta Lembaga Pengelola Hutan Desa Pulau Kumbang telah
Orang utan jantan dewasa yang diperkirakan berusia sekitar 15 tahun ini ditemukan dalam kondisi mengalami luka di pergelangan tangan kirinya akibat terkena jerat pemburu. Meskipun berhasil lolos, jerat tali sepanjang empat meter masih terikat erat dan menyebabkan luka yang cukup parah. Mengingat sifat satwa yang masih liar dan untuk menghindari sifat agresif satwa terhadap tim penyelamat, maka digunakan senapan bius untuk melumpuhkannya. Dari hasil pemeriksaan di lapangan oleh tim medis IAR Indonesia, diketahui lukanya cukup parah dengan tali yang sudah masuk ke dalam daging dan mengenai tulang.
Melihat kondisinya, tim memutuskan membawa Kumbang ke klinik satwa liar di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi IAR Indonesia di Desa Sungai Awan Kiri, Ketapang yang berjarak 6 jam perjalanan dari Desa Pulau Kumbang untuk dilakukan observasi dan diberikan perawatan. Keberadaan Kumbang pertama kali diketahui oleh warga Desa Pulau Kumbang yang berada di ladang pada tanggal 15 Februari 2022. Mendapati orangutan di ladang dengan tali jerat terikat di tangannya, warga melapor ke BKSDA Kalbar. Menindaklanjuti laporan warga, tim yang terdiri dari WRU BKSDA Kalbar dan Orangutan Protection Unit (OPU) IAR Indonesia (YIARI) turun untuk melakukan verifikasi. Tim kemudian memutuskan segera melakukan penyelamatan untuk mengobati luka Kumbang dan mencegah potensi konflik manusia-orangutan meningkat.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor Adirahmanta, mengapresiasi masyarakat atas kesadaran dan kepeduliannya terhadap satwa liar, khususnya satwa dilindungi, dengan segera melaporkan kepada pihak berwenang dan tidak mengambil tindakan sendiri yang mungkin saja bisa membahayakan keselamatan warga maupun satwa. Apalagi, mempertimbangkan kejadian konflik yang masih terus terjadi antara manusia dengan satwa liar, semua harus siap membangun pola pikir baru terhadap kehidupan liar, baik pola pikir pemangku kewenangan maupun masyarakat.
''Perlu dicari dan dirumuskan pola-pola penanganan baru yang bisa memberikan solusi jangka panjang/permanen atas semakin meningkatnya interaksi antara satwa liar dan manusia. Ke depan, manusia harus lebih siap dan bisa hidup ‘berdampingan’ dengan satwa liar,'' kata Sadtata, Rabu (23/2).
SUMBER : KSDAE MENLHK