Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Versi KKP Beri Karpet Merah Bagi Korporasi Asing
JAKARTA --Rencana pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen-KP tentang penerapan sistem kontrak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), mendapat penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL). Dengan tujuan mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target mencapai Rp 12 triliun di tahun 2024, pemerintah akan memberlakukan kuota kontrak sejumlah WPP-NRI kepada korporasi asing atau dengan bermitra dengan perusahaan nasional.
Nantinya kapal-kapal eks-asing dan kapal ikan asing yang diberi izin atau lisensi termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut Indonesia. KORAL, yang beranggotakan sembilan organisasi yang memiliki perhatian pada isu kelautan dan perikanan, menyusun sebuah kertas berisi penolakan terhadap kebijakan tersebut dan mempublikasikannya melalui konferensi pers, dan webinar bertajuk 'Melihat Arah Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2022' yang digelar pada Rabu (23/2).
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin menyatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur yang memberikan karpet merah bagi korporasi asing dengan metode lelang terbuka kepada 4-5 investor per WPP. Selain itu, menggunakan ikatan kontrak selama 20 tahun adalah bentuk eksploitasi, swastanisasi, liberalisasi sumber daya ikan yang didorong oleh KKP.
''Sepanjang 2022-2024, KKP mestinya menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 dengan cara menerbitkan aturan turunan dalam rangka melindungi dan memberdayakan keluarga nelayan di Indonesia, bukan malah eksploitasi, swastanisasi, liberalisasi sumber daya ikan di lautan Indonesia,'' tegas Parid, dalam keterangan persnya, Kamis (24/2).
Parid mengacu pada UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang sejatinya memandatkan KKP untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional.
WALHI juga mendesak KKP untuk segera merumuskan kebijakan yang melindungi wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari ancaman dampak buruk krisis iklim. Selanjutnya, KKP didesak untuk mengevaluasi sekaligus mencabut izin seluruh proyek pembangunan yang merusak dan menghancurkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, seperti reklamasi, tambang pasir, tambang migas, dan proyek-proyek lain yang melipatgandakan krisis ekologis di kawasan tersebut.
Mengamini ucapan Parid, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan mengatakan, implementasi penangkapan ikan terukur oleh KKP mestinya sudah menghitung tingkat kesiapan, risiko dan manfaatnya secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Ia mengingatkan pemerintah agar jangan sampai manfaat ekonomi yang didapat melalui PNBP tidak sebanding dengan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan masifnya penangkapan ikan dengan segala jenis alat tangkap, hingga munculnya konflik sosial antara nelayan kecil dengan korporasi yang mendapatkan kuota penangkapan ikan.
''Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa sebab 66,6 persen kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95 persen dari 5,9 juta ton, sebab kita tahu kondisi koperasi perikanan kita tidak kuat bersaing dengan syarat kontrak yg ditetapkan KKP,'' tutur Abdi.
Alih-alih menerapkan sistem kuota kontrak, KORAL mengajukan rekomendasi sekaligus solusi agar KKP menerapkan perizinan berbasis tingkat kepatuhan kapal penangkap ikan, memperkuat kapasitas dalam pengkajian stok ikan dan pengawasan serta menutup kegiatan penangkapan ikan dari invasi kapal ikan asing.
SUMBER : Greanpeace.org