Peninjauan Izin Lahan Setengah Hati, Kawasan Hutan dan Hak Adat Terancam
JAKARTA --Peninjauan izin lahan oleh pemerintah Indonesia yang setengah hati telah menciptakan insentif buruk bagi perusahaan yang putus asa untuk mempertahankan cadangan lahan yang tidak aktif. Greenpeace menyerukan agar kebijakan tersebut diklarifikasi, untuk memastikan perusahaan yang izinnya terdaftar untuk dicabut dan tidak diperbolehkan melakukan panic clearing tersebut.
Pada 6 Januari, Presiden Jokowi mengumumkan pembatalan ratusan izin sektor kehutanan, termasuk keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Beberapa dari mereka berada di provinsi Papua dan Papua Barat, dan muncul di dalam laporan Greenpeace Stop Baku Tipu Perizinan.
Di antara perusahaan yang pelepasan kawasan hutannya dicabut adalah PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Menurut laporan Mongabay, pemilik tanah adat mengatakan tidak ada aktivitas di kamp perusahaan selama hampir dua tahun. Kemudian pembukaan hutan tiba-tiba dimulai kembali dalam beberapa hari setelah pengumuman presiden.
Pengamatan di lapangan dan satelit menunjukkan bahwa jalan dan blok penanaman kelapa sawit sedang dibuka dengan cepat di beberapa wilayah hutan. Greenpeace memperkirakan, sampai 19 Feb 2022, sekitar 70 hektar hutan telah ditebang oleh masyarakat adat setempat. Lokasi tersebut diidentifikasi sebagai situs ekowisata untuk mengamati Burung Cenderawasih. Pelepasan kawasan hutan yang dicabut tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.1/2022 tanggal 5 Januari. Dasar untuk memilih izin mana yang dicabut tetap tidak jelas, bahkan Greenpeace telah mengajukan surat keterbukaan informasi ke KLHK, dan tidak ada tanggapan apapun.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma, heran banyak izin yang seharusnya dicabut dalam proses peninjauan izin Moratorium Kelapa Sawit, tapi tidak dimasukkan dalam daftar. Selanjutnya, paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada Komisi IV DPR mempersoalkan pencabutan tersebut. Siti Nurbaya mengklaim pencabutan memenuhi syarat sebagai 'deklaratif' dan menyarankan agar beberapa pencabutan yang dilakukan melalui Keputusan KLHK No.1/2022 dapat dibatalkan oleh meja 'klarifikasi/verifikasi', sebelum pencabutan definitif diumumkan.
"Saya khawatir pemerintah telah menyerah pada proses peninjauan izin, yang seharusnya melindungi hutan yang tersisa dan melindungi hak-hak adat. Pencabutan izin harus dikoordinasikan secara baik dengan pemilik hak adat, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) dan dilaksanakan secara transparan, serta harus memastikan peniadaan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan," kata Nico, berbicara dari Sorong, Papua Barat, dalam keterangan persnya, Kamis (24/2).
Nico menyatakan, lahan hutan harus diambil kembali dari perusahaan perkebunan dan dikembalikan ke pemilik asli yang sah. Tetapi, lanjut dia, langkah terakhir yang penting ini hilang dari proses saat ini. Beberapa perusahaan yang izin pelepasan hutannya dicabut juga memiliki izin lain yang dikeluarkan oleh instansi lain, seperti IUP (izin usaha perkebunan) dan HGU (hak guna usaha). Permintaan keterbukaan informasi Greenpeace kepada Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian mengenai nasib izin untuk perusahaan-perusahaan ini tidak terjawab.
PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan yang baru-baru ini memulai pembukaan lahan dan telah diungkap oleh Greenpeace sebelumnya, yang memiliki hubungan dengan taipan Anthoni Salim. PT PNM memperoleh izin HGU pada 15 November 2018, meskipun Moratorium Kelapa Sawit selama tiga tahun telah berlaku. Dengan dicabutnya izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektar melalui Keputusan KLHK No. 1/2022, operasi pembukaan hutan berikutnya di dalam Kawasan Hutan akan tampak ilegal menurut UU Kehutanan.
Namun kegagalan pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan pembatalan izin lain seperti IUP dan HGU, telah menyebabkan kebingungan di lapangan mengenai legalitas pembukaan hutan tersebut.
Syahrul Fitra, juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia mengatakan, peninjauan izin di bawah Moratorium Kelapa Sawit seharusnya dikoordinasikan di semua tingkat pemerintahan dan lintas lembaga. Sayangnya, KLHK tampaknya berjalan sendiri tanpa melibatkan instansi lain dan pemerintah daerah.
"Sekarang kebingungan merajalela, dan ada insentif yang salah. Perusahaan bereaksi dengan bergegas membuka hutan, tidak diragukan lagi berharap untuk terlihat aktif beroperasi, dan menghadirkan lanskap tandus sebagai fait accompli,'' ungkap Syahrul.
Syahrul mengatakan, PT PNM seharusnya menghentikan segala aktivitas mereka dilapangan, terutama aktivitas pembukaan lahan. Pemerintah harus menindak jika perusahaan tetap melakukan aktivitas konversi lahan. Ia menambahkan, saat ini evaluasi izin di Provinsi Papua juga tengah dilakukan. "Sudah saatnya bagi Pemerintah Provinsi Papua mengumumkan hasil evaluasi terhadap PT PNM ini, dengan memperhatikan tuntutan masyarakat adat," tegas dia.
SUMBER : Greanpeace.org